Adakah Pajak untuk Pendana di Peer To Peer Lending?
By Team Amartha Blog - 12 Feb 2019 - 3 min membaca
Awal tahun tepatnya bulan Januari hingga Maret, merupakan waktunya untuk melapor pajak. Sebagai warga negara Indonesia yang taat, sudah seharusnya melapor pajak. Apalagi, pajak merupakan sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sehari-hari kita menggunakan fasilitas umum yang berasal dari uang rakyat melalui penerimaan pajak tersebut. Beberapa pelayanan umum, pendidikan, kesehatan, pertahanan, dana desa, ekonomi, pariwisata hingga keamanan berasal dari penerimaan pajak negara. Tak heran, jika jargon “Orang Bijak, Taat Pajak” selalu didengungkan. Hal ini dilakukan agar masyarakat sadar betapa penting pajak tersebut.
Nah, beberapa tahun ini, layanan fintech peer to peer lending (P2P lending) semakin menjamur. Pertumbuhan fintech p2p lending melesat. Menurut data OJK, hingga Oktober 2018, penyaluran P2P lending telah mencapai Rp16 triliun atau naik 520%. Pada 2017, penyaluran P2P lending mencapai Rp 2,56 triliun.
Sayangnya, masyarakat terutama para pendana di P2P lending masih belum paham mengenai pajak. Padahal, menurut Institute for Development Economics and Finance, pengembangan fintech kurang dari dua tahun telah menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 25,97 triliun.
Karena itu, sejak 2016, Kementerian Keuangan telah berkordinasi dengan lembaga lain menyangkut regulasi dan pungutan pajak di P2P lending. Meskipun terbilang baru, Pemerintah sudah melihat potensi perkembangan fintech lending di Indonesia. Walaupun, hingga kini,belum ada peraturan khusus untuk pajak baik dari pendana maupun peminjam di P2P lending.
[caption id="attachment_3233" align="aligncenter" width="3000"] Lapor Pajak (Dok. Unsplash)[/caption]
Amartha sebagai platform peer to peer lending hanya sebagai penghubung antara pendana dengan peminjam. Ini berbeda dengan institusi lembaga keuangan konvensional dimana mereka telah diatur oleh Pemerintah mengenai pajak. Jadi, Amartha tidak dapat memotong pajak imbal hasil yang diperoleh pendana dalam aktivitas pendanaan yang mereka lakukan. Sehingga, untuk perpajakan sendiri itu kewajibannya ada di peminjam dan dipinjamkan bukan di Amartha.“Tapi Amartha memberikan informasi berapa imbal hasil yang didapatkan selama tahun berjalan. Ada laporannya masing-masing dan dibayar pajaknya,” kata Markus Iwandi selaku konsultan pajak.
Menurutnya, ada tiga macam formulir SPT tahunan orang pribadi yakni 1770, 1770S, dan 1770SS. Ketiga formulir ini memiliki perbedaan diantaranya pekerjaan atau pendapatan. Pendana memiliki kewajiban melaporkannya sebagai penghasilan lain. “ 1770S untuk karyawan yang penghasilan bruto setahun diatas Rp 60 juta, 1770S untuk karyawan yang penghasilannya setahun kurang dari Rp 60 juta dan SPT 1770 untuk pengusaha atau freelance. Masuk ke SPT pribadi berarti masuk PPh 21. Kalo dia institusi maka sebagai other income, SPT-nya badan. Misalnya, saya dapat imbal hasil loh dari sini (P2P Lending), maka dilaporkan untuk wajib pajak pribadi atau badan,” ujarnya
Selain itu, dalam, UU PPH No. 28 pasal 17 telah diatur mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. “Umumnya bayar pajak karena ada kekurangan pajak misalnya gajinya Rp 330 juta karena ada other income jadi saya kurang bayar saya harus bayarkan itu baru bisa lapor pajak. Lalu hitung berapa ratenya untuk institusi itu ratenya 25% dan untuk non institusi progresif 5% sampai 30%. Tergantung profilnya,” tutupnya.
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya
Artikel Terkait
Ada pertanyaan seputar artikel di blog Amartha? atau ingin mengirimkan artikel terbaik kamu untuk di publish di blog Amartha?
Hubungi Kami SEKARANG