Manual of Life Part 1 : Why Work-Life Balance is a Myth
By Team Amartha Blog - 11 Feb 2020 - 3 min membaca
"Thank God it's Friday" atau lebih populer dalam tagar #TGIF sering mendominasi linimasa media sosial menjelang akhir pekan. Netizen seolah ingin bergegas melarikan diri dari rutinitas karir dan pekerjaan yang menyebalkan lalu segera melampiaskannya dengan dalih "I deserve it!", "work hard play harder" dan sejenisnya. Lalu menjelang Minggu malam, mereka akan berkeluh "Monday, please be nice to me". Lalu siklus itu akan berulang sepanjang hidupnya, hingga pensiun.
Apakah itu yang disebut work life balance? Benarkah kita bisa menyeimbangkan antara kehidupan yang bahagia dengan sukses karir dan pekerjaan? Atau jangan-jangan work life balance itu hanya mitos? Mari kita amati bersama.
Pertama, tidak ada hal yang benar-benar seimbang, apalagi soal kebahagiaan, sesuatu yang abstrak, subjektif dan tidak ada indikator baku tentang kebahagiaan. Pun standar antara satu orang dan lainnya akan berbeda, tergantung prioritas dan apa yang mereka anggap penting dalam hidup.
Kedua, menganggap work sebagai lawan dari life--sehingga perlu diseimbangkan adalah konsep yang kurang tepat. Dalam setiap karya kita tentu ada kehidupan, jika kita bisa memaknai pekerjaan kita dalam sebuah konteks yang lebih besar. Sementara hidup itu sendiri adalah work in progress, "hidup" (to live) adalah sebuah kata kerja (verb).
Lalu bagaimana bisa mencapai kesuksesan dalam kehidupan dan pekerjaan sekaligus? Konsep "work life integration" bisa menjadi solusinya. Konsep ini diperkenalkan oleh UC Berkeley, Haas School of Business sebagai sebuah "pendekatan yang menciptakan sinergi antara semua aspek hidup manusia yaitu: pekerjaan, keluarga, komunitas, personal well-being dan kesehatan".
Intinya, tidak menganggap pekerjaan sebagai beban dan penghalang kebahagiaan sehingga kita bisa berbahagia dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sukses yang sejati. Mudah? Tentu tidak.
Untuk itu, mari kita belajar dari filosofi Jepang "makoto" yang artinya jujur terhadap diri sendiri. Tanyakan pada diri sendiri, hal-hal apa yang sebenarnya gue banget, mendasar dan menjadi definisi dari kebahagiaan pribadi kita. Karena tanpa memahami hal ini, maka definisi kesuksesan hidup kita akan di hijack oleh definisi mainstream yang beredar di sekitar kita, di media sosial, di instagram dan apa kata orang. Padahal, tidak semua definisi sukses dan itu berupa kemewahan, profil yang mentereng atau kekuasaan. Bisa saja hal itu berupa sesuatu yang sederhana, personal tapi mengandung makna mendalam.
Karena setiap individu itu unik, maka kesuksesan pun beragam jenisnya. Walaupun ada satu karakter yang semestinya harus ada yaitu sustainability, kesuksesan yang hakiki, tidak hanya temporary joy atau pleasure, tapi kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Selamat berproses, selamat menuju sukses dan berbahagia!
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya
Artikel Terkait
Ada pertanyaan seputar artikel di blog Amartha? atau ingin mengirimkan artikel terbaik kamu untuk di publish di blog Amartha?
Hubungi Kami SEKARANG