Penghasilan Selalu Kurang? Coba Atur Keuangan Dengan Hal Ini!
By Team Amartha Blog - 30 Jul 2018 - 3 min membaca
Sebagai supervisor, manager, direksi, atau bahkan pemilik perusahaan, pernahkah Anda bertanyan kepada karyawan Anda, bagaimana mengelola penghasilannya yang didapat dari kantor?
Mungkin sebagian besar jawabnya tidak pernah. Entah dengan alasan hal itu masalah pribadi yang tidak patut dicampuri, atau malah khawatir jika pertanyaan seperti itu ditanyakan akan memicu permintaan karyawan untuk naik gaji.
Memang, pada umumnya karyawan merasa gajinya selalu kurang, tidak pernah bisa mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (atau keinginannya?). Lucunya, walau gajinya telah meningkat beberapa kali, tetap saja terjangkit “selalu merasa kurang” penghasilannya.
Sindroma selalu merasa kurang ini, sebetulnya berkaitan dengan “kecerdasan finansial”. Tingkat kecerdasan finansial yang paling sederhana adalah kesadaran bahwa “jangan pernah lebih besar pasak daripada tiang”.
Ini sebenarnya nasehat kuno (tapi selalu relevan) dari orang tua kita bukan? Kalau nasihat ini mau dijadikan sebagai suatu indikator kecerdasan finansial (sebut saja sebagai IKF), maka bisa diformulasikan sbb : IKF = Pengeluaran/Penghasilan < 1.
Artinya, berapapun penghasilan kita maka “gaya hidup” kita tidak pernah boleh melebihi kemampuan finansial (penghasilan) kita. Formula di atas juga “mengharuskan” kita untuk tidak boleh menghabiskan seluruh penghasilan, namun harus disisakan. Sebetulnya lebih tepat disisihkan bukan disisakan. Apa bedanya? Nanti kita bahas di belakang.
Formula IKF yang sederhana ini menurut saya memiliki “makna” yang dalam. Pertama, berkaitan dengan kemandirian finansial jangka pendek. Artinya seseorang yang memiliki penghasilan dan bisa mengatur gaya hidupnya sedemikan rupa, agar kebutuhannya terbatasi tidak melebihi penghasilannya, maka ia “mandiri secara finansial”, berapapun penghasilannya.
Nah sekarang coba bayangkan jika seseorang bergaya hidup dengan pengeluaran rutin di atas penghasilannya? Dari mana dia menutup kekurangannya? Pinjam mertua? Pinjam teman kantor? Atau mengandalkan kartu kredit? Sampai kapan bisa bertahan?
Makna kedua, berkaitan dengan kemampuan mempersiapkan kebutuhan masa depan. Ketika seseorang menghabiskan semua penghasilannya untuk dikonsumsi saat ini, tidak ada “sisa” untuk ditabung dan diinvestasikan, maka ia hanya mandiri secara finansial sesaat, atau beberapa saat saja.
Mengapa? Karena suatu saat di depan nanti akan ada kebutuhan mendasar yang sifatnya tidak rutin dan membutuhkan biaya besar, misalnya uang pangkal masuk sekolah anak, pajak mobil, pajak bumi dan bangunan, uang muka kredit rumah, adanya musibah, dll. Dari mana sumber dananya kalau tidak dari dana yang bisa disisihkan sedikit demi sedikit secara rutin setiap bulan?
Nah, oleh karenanya betapa penting kecerdasan finansial yang paling sederhana ini ditanamkan sedini mungkin kepada setiap karyawan. Bahkan juga kepada setiap orang. Mereka yang menyadari hal ini, akan selalu membatasi gaya hidupya, misalnya 70-80% dari penghasilannya dengan “mewajibkan” diri selalu menyisihkan penghasilannya di awal ketika menerima gaji, untuk ditabung. Bukan berharap ada “sisa” di akhir bulan untuk ditabung.
“Do not save what is left after spending, but spend what is left after saving” (Waren Buffet)
Nah, bagaimana menurut sahabat sekalian, perlukah kita membekali diri, keluarga, bahkan karyawan kita agar cerdas secara finasial? Di masa kini, dimana godaan konsumerime semakin tinggi, makin banyak karyawan terjebak dengan pola hidup “Galub Tulub” alias gali lubang tutup lubang, walau penghasilannya tidak lagi kecil. Kali ini kemudian memunculkan masalah keuangan pribadi dan keluarganya. Akankah mereka bekerja di kantor secara produktif? Tentu tidak.
Artikel ini merupakan hasil kerjasama Amartha dengan Halofina.com.
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya
Artikel Terkait
Ada pertanyaan seputar artikel di blog Amartha? atau ingin mengirimkan artikel terbaik kamu untuk di publish di blog Amartha?
Hubungi Kami SEKARANG