icon-langID
logo-amartha
Home / Blog / Teknologi dan Inovasi / Produk Terbaru Bisnis / Tidak Bisa Akses Kredit di Bank Jadi Alasan Petani Indonesia Sulit Berkembang
icon-lang
icon-lang

Tidak Bisa Akses Kredit di Bank Jadi Alasan Petani Indonesia Sulit Berkembang

By Team Amartha Blog - 8 Jun 2021 - 3 min membaca

Hingga kini, petani di Indonesia bisa dikatakan sebagai profesi yang memiliki tingkat penghasilan yang rendah. Aviliani, selaku Sekretaris Jendral Komite Ekonomi Nasional (KEN) mengatakan bahwa hal tersebut diakibatkan oleh tingkat keekonomian aktivitas bertani yang terbilang masih sangat rendah.

Khususnya untuk para petani pangan yang sampai saat ini kehidupannya masih sangat rendah. Alasannya, pola pertanian yang diterapkan di negeri ini tanahnya hanya 0.3%, dimana angka tersebut sangat tidak ekonomis.

Baru-baru ini, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan bahwa kesejahteraan petani Indonesia lebih rendah dari China dan Thailand. Hal itu terlihat dari rendahnya nilai tukar petani (NTP) RI dibanding dua negara tersebut.

Deretan Startup Anak Bangsa yang Dorong Kesejahteraan Petani Indonesia

"Nilai tukar petani di Indonesia tidak bergerak menurut saya. Cuma sekitar 100 ke 102, kadang tetap, kadang turun ke 96-97. Bandingkan dengan Thailand bisa 120-140. Apalagi dengan Cina 140-150," ujarnya dalam webinar 'Strategi Industrialisasi untuk Mendorong Transformasi Ekonomi' beberapa waktu lalu.

Sebagai informasi, nilai tukar petani merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP adalah salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di pedesaan.

Rendahnya tingkat ekonomi ini pula yang jadi alasan petani Indonesia alami kesulitan ketika mereka harus melakukan pinjaman ke bank. Bahkan, sampai sekarang tidak banyak bank yang memberikan kredit dana penyertaan modal bagi para petani Indonesia.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Slamet Edi Purnomo mengatakan, sebenarnya infrastruktur yang mendukung pertanian telah memadai, tapi kebijakan yang ada belum diterapkan dengan baik.

Sebagai contoh, kehadiran Kredit Usaha Tani (KUT) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dirasa belum maksimal. Realisasi penyaluran KUR di sektor pertanian juga masih di bawah 7 persen.

Saat ini, masih banyak petani yang kesulitan mengklaim KUR karena prosesnya yang tidak sederhana. Perbankan tidak mau menyalurkan kredit karena petani tidak punya agunan, penghasilan yang tidak tetap dan tidak adanya sertifikat kepemilikan tanah.

Imbasnya, petani belum bisa merasakan kemakmuran, karena penyaluran kredit didominasi pada pedagang. Apalagi, pedagang mengambil untung paling besar di sektor pertanian.

Dari Rp 600 Ribu, Kini Saniah Raup Rp 2,5 Juta dari Bertani

Oleh karena itu, jika petani mendapatkan informasi yang tepat mengenai akses, maka mereka akan lebih mandiri dan berkembang nantinya.

Dalam beberapa tahun terakhir, fintech menjadi alternatif pembiayaan yang efektif dalam usaha pemberdayaan bagi petani untuk mengembangkan usahanya. Platform seperti Peer-to-Peer Lending (P2P Lending) menawarkan beragam solusi terbaik bagi permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh para petani.

Salah satu seperti Platform Peer-to-Peer Lending (P2P Lending) yang aman dan terpercaya untuk permodalan berbagai sektor usaha, termasuk pertanian adalah Amartha.

Adapun, Amartha adalah perusahaan investasi P2P Lending yang menghubungkan dan memberdayakan perempuan pengusaha mikro di pedesaan. Perlu kamu tahu, hingga saat ini 30% dari keseluruhan mitra Amartha berprofesi sebagai petani.

Sebagai informasi, Amartha menawarkan keuntungan secara materi dan sosial. Secara materi, investor akan mendapatkan bagi hasil sampai 15% flat per tahun. Sementara secara sosial, investor telah mendorong perempuan di pedesaan untuk mandiri dan sejahtera secara ekonomi melalui modal yang diberikan.

Adapun perihal penanganan risiko investasi, setiap perempuan pengusaha mikro yang bergabung akan mendapatkan pendampingan dan pelatihan usaha secara rutin. Hal tersebut bertujuan agar dana digunakan secara tepat guna sehingga risiko gagal bayar atau terlilit hutang dapat diminimalisir.

Selain itu, Amartha mengadaptasi sistem Grameen Bank milik Muhammad Yunus yang mana setiap mitra usaha yang bergabung harus membentuk kelompok yang terdiri dari 10-20 orang. Pembentukan kelompok ditujukan untuk memudahkan monitoring usaha dan edukasi serta pengembalian pinjaman.

Sebelas tahun berdiri, Amartha diketahui sudah menyalurkan 3.64 Triliun kepada 674.504 perempuan pengusaha mikro di 18.900 desa di Indonesia dengan TKB 90 berada di angka 94.09%.

Artikel Terkait

Tidak Bisa Akses Kredit di Bank Jadi Alasan Petani Indonesia Sulit Berkembang

Produk Terbaru Bisnis

Ada pertanyaan seputar artikel di blog Amartha? atau ingin mengirimkan artikel terbaik kamu untuk di publish di blog Amartha?

Hubungi Kami SEKARANG

https://cms-admin-stg.amartha.com/uploads/invite_a21debce13.png