Peringatan Hari Ibu dan Kegagalan Pemenuhan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga
By Team Amartha Blog - 22 Dec 2020 - 3 min membaca
Tanggal 22 Desember di Indonesia selalu diperingati sebagai Hari Ibu. Peringatan itu diresmikan oleh Presiden Soekarno dalam peringatan kongres ke-25 melalui Dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959.
Peringatan tersebut bermula dari pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia pertama yang diadakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 lalu di Ndalem Joyodipuran, Yogyakarta. Saat ini gedung tersebut digunakan sebagai Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, terletak di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Kongres tersebut diikuti oleh kurang lebih 600 perempuan dari puluhan perhimpunan wanita yang terlibat. Mereka berasal dari beragam latar belakang usia, suku, agama, dan pekerjaan.
Agenda Kongres Perempuan Pertama
Agenda dalam kongres ini hampir seluruhnya membicarakan tentang hak-hak perempuan yang harus diperjuangkan. Moega Roemah membahas tentang isu perkawinan anak. Perwakilan organisasi Poetri Boedi Sedjati (PBS) dari Surabaya menyampaikan tentang derajat dan harga diri perempuan Jawa. Siti Moendji’ah kemudian membahas tentang Derajat Perempuan dan Nyi Hajar Dewantara membicarakan mengenai adab perempuan. Ada juga pembicara yang menyampaikan topik soal perkawinan dan perceraian.
R.A. Soekonto selaku pemimpin Panitia Kongres Perempuan Indonesia I dalam orasinya mengatakan: “Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat kaum perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum.”
Lanjutnya, “Artinya, perempuan tidak lantas menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti zaman dahulu.”
Sementara itu, Djami dari Darmo Laksmi berpidato dengan judul “Iboe”. Di awal pidatonya, ia menceritakan pengalaman masa kecilnya yang dipandang rendah karena terlahir sebagai anak perempuan. Sebagai gambaran, di masa kolonial, anak laki-laki menjadi prioritas dalam mengakses pendidikan. Sementara perempuan tak jauh-jauh dari kasur, sumur, dan dapur. Pandangan tersebut mengakar kuat sehingga pendidikan bagi perempuan tidak dianggap penting.
Djami sendiri berpendapat: “Tak seorang akan termasyhur kepandaian dan pengetahuannya yang ibunya atau perempuannya bukan seorang perempuan yang tinggi juga pengetahuan dan budinya. Selama anak ada terkandung oleh ibunya, itulah waktu yang seberat-beratnya karena itulah pendidikan Ibu yang mula-mula sekali kepada anaknya.”
Kegagalan Misi Kongres Perempuan, Banyak Perempuan Tak Dapat Haknya
Kongres Perempuan diadakan agar perempuan mendapatkan hak-haknya dengan baik. Sayangnya harapan tersebut masih belum terwujud. Hal itu dibuktikan dengan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh perempuan. Mengutip tirto.id, Komnas Perempuan mencatat sejak awal tahun 2020 sampai bulan Oktober lalu terdapat 960 laporan kasus KDRT.
KDRT yang dimaksud yaitu berupa kekerasan di ranah domestik yang terjadi dalam relasi personal seperti kekerasan yang dilakukan suami kepada istri, ayah kepada anak, paman kepada keponakan, dan kakek kepada cucu.
Laporan kasus kekerasan kepada istri sebanyak 320. Sementara kekerasan terhadap perempuan di ranah KDRT dalam bentuk ekonomi sebanyak 204, fisik 378, psikis 621, dan seksual 483.
Di masa pandemi ini, Komnas Perempuan menemukan fakta dan data yang mengerikan yaitu kelompok yang rentan mengalami KDRT. Mereka adalah perempuan, berusia 31-40 tahun, berpenghasilan kurang dari Rp5 juta, memiliki jumlah anak 3-5 orang dan lebih, tinggal di zona merah penyebaran kasus Covid-19.
Data tambahan lainnya yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dari laporan lembaga-lembaga serupa. Hasilnya, sejak Januari sampai 21 Desember 2020, jumlah kekerasan yang dilaporkan mencapai 4.682 untuk kekerasan seksual, 2.152 untuk kekerasan fisik, dan 1.869 untuk kekerasan psikis.
Dukung dan Berdayakan Para Perempuan
Berdasarkan data dan fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah tangga dengan persoalan ekonomi dapat menjadi tempat kekerasan fisik dan seksual berkembangbiak. Maka dari itu diperlukan kerjasama yang kuat antar berbagai pihak.
Dari Pemerintah sendiri, masih mengutip tirto.id, melalui Kemen PPPA menyediakan pelayanan penanganan dengan nama Sejiwa (Sehat Jiwa) melalui nomor telepon 119 ekstensi 8. Mereka bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memilah jenis kasus yang dilaporkan. Selain itu, Kemen PPPA juga bekerjasama dengan himpunan psikologi Indonesia untuk menangani psikologi korban.
Data UNWOMEN menyebutkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi pengangguran daripada laki-laki, data ini diproyeksikan tidak berubah sampai tahun 2021 mendatang. Maka dari itu, langkah untuk meminimalisir KDRT dapat dilakukan dengan memberdayakan perempuan melalui modal usaha serta pendampingan dan pelatihan rutin. Amartha selama 10 tahun telah melakukan hal tersebut kepada lebih dari 570.000 perempuan pengusaha ultra mikro di pedesaan.
Mitra Amartha dalam riset CfDs bersama Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa 88.6% mitra kini terlibat dalam proses pembuatan keputusan di dalam rumah tangga. Keputusan tersebut mulai dari masalah sehari-hari, pilihan menu makanan bagi seluruh keluarga, pembelian barang kebutuhan rumah tangga, pemilihan sekolah anak, hingga keputusan mengenai pinjaman.
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya
Artikel Terkait
Ada pertanyaan seputar artikel di blog Amartha? atau ingin mengirimkan artikel terbaik kamu untuk di publish di blog Amartha?
Hubungi Kami SEKARANG